Aku yang Tak Terduga - Cerpen 1


Aku yang Tak Terduga


Giginya gemeretak ketakutan. Ia membuka gumpalan tangannya, darah segar mengalir deras dari sana dan terjun  bebas. Wajahnya sudah pucat pasi memandang sesuatu yang ada di depannya. Sekujur tubuhnya beku bergeming dengan keringat dingin menghias di sana. Ia ketakutan. Bukan, bahkan lebih ketakutan.

Kilatan mataku menyambar tatapan matanya dengan pandangan menusuk. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya untuk menyingkirkan semua pemikiran buruk yang sudah terjadi.

Tanpa aba-aba dari tuhan, air hujan terjun bebas membasahi bumi. Seketika itu juga, ia menangis sejadi-jadinya. Menangis sekeras-kerasnya untuk menepik rasa sesak di dada. Langit mengeluarkan gemuruhnya memberikan  kesan rasa bersalah lebih dalam lagi. Ia berduka. Tapi langit lebih berduka.

Aku membulatkan mataku tak percaya memandang dirinya yang melakukan sesuatu padaku. Ia memopong tubuhku hujan-hujanan sehingga menghapus jejak merah kental itu dari tubuhku dan tubuhnya.

“Maafkan aku! Maafkan aku!” ia terus bergumam kata itu tak henti-henti sepanjang perjalanan pulang. Syukur saat ini jalanan telah tersapu bersih dengan kegelapan malam. Sehingga sudah tak ada orang yang mau membawa tubuhnya di bawah kegelapan bahkan hujan-hujan begini.

Antara rasa iba dan marah, aku lebih merasa kasihan padanya harus bertemu denganku yang lemah ini. Aku ingin marah padanya atas apa yang terjadi hari ini, tapi aku juga tidak boleh egois menuntut pemikiranku harus selalu benar.

Suara air yang beradu dengan aspal. Suara kilatan petir yang menyayat langit beradu satu dengan derap kakinya yang berlari agar cepat sampai tujuan. Tapi, aku menangkap raut bingung dan khawatir di wajahnya. Ia berlari tak tentu arah membawa tubuhku dalam gendongannya. Apa dia tersesat? Dan apa ia tak keberatan membawa beban tubuhku? Walaupun sudah tak ada jiwa di sana, tetap saja, bukan.

Ku bawa tubuh ringanku memutar-mutari kawasan tempat kami berada. Pantas saja jalanan terlihat sepi, bahkan satupun rumah takku lihat. Di samping kanan dan kiriku hanya terlihat pohon besar berdiri kokoh dengan teman-temannya.

Di samping salah satu pohon itu, aku melihat seorang gadis kecil sedang duduk sendirian dengan posisi jongkok. Wajahnya tertutupi rambut panjangnya yang lurus. Langsung saja aku lesetkan tubuhku menghampirinya.

“Hai!” Tak ada respon darinya. Ia tetap saja dengan posisinya.

Aku mencoba menyentuhnya dan seketika itu juga ia membalikkan kepalanya menghadapku. Aku terlonjak kaget langsung membawa tubuhku terbang beberapa meter dari tanah. “Hebat! Kepalanya bisa mutar tigaratus delapan puluh derajat,” kataku kagum dan sedikit takut.

Aku kembali turun menghampirinya. Mukanya yang putih pucat sepucat kapas menatapku datar. Ada sedikit luka kering di wajahnya yang membuat dirinya sedikit lebih menakutkan. Apakah wajahku juga seperti dirinya?

“Mm, apakah kau tau ini di mana?”
Lagi-lagi ia tak membalas perkataanku. Ia masih tetap menatapku dengan pandangan kosong. Aku memang baru mati sekitar beberapa jam yang lalu, tapi jelas aku masih belum terbiasa. Apalagi tadi aku sempat shock melihat tubuhku sendiri dalam keadaan tak bernyawa. Aku tak terlalu mengingat peristiwa tadi, hanya saja aku harus terima apapun yang terjadi nanti.

Lama, ia kemudian menggerakkan tangan kanannya dan meraih sebuah ranting pohon yang tak jauh darinya. Ia menggoreskan sesuatu pada tanah yang basah.

HUTAN.

Tak lama, tulisan itu kembali terkubur karena hujan yang menerpanya. Aku menyerengit bingung. Mengapa aku ada di hutan seperti ini?

“Apa kamu tahu cara keluar dari sini?”

Ia kembali menyentuh tanah dengan ranting pohon tadi. Ia menulis kembali dengan satu kata. Sungguh hantu yang pelit.

BARAT.

Aku kembali bingung. Aku tak mengenal arah manapun di sini. Terlalu gelap, kalau menunggu matahari terbit, laki-laki yang membawa tubuhku akan mati kedinginan.

“Arah barat itu di mana?”

Angin menghembus tubuhku yang transparant ini. Aku semakin khawatir dengan kondisi laki-laki itu. Ia mengangkat tangannya pelan diikuti oleh kepalanya. Ia menunjuk ke arah depanku. “Ikuti saja jalan ini dan kamu akan bertemu dengan teman-temanmu,” akhirnya ia berkata walaupun suaranya sangat halus bagaikan bisikan angin yang berlalu. Tanpa pikir panjang, langsung saja aku mengucapkan kata terimakasih dan berlalu pergi.

Aku mencari-cari sosok laki-laki tadi. Agak lama ku temukan, ia berada di salah satu pohon yang rimbun dengan daun. Ia berteduh sambil menyelimuti tubuhku dengan sweater miliknya. Aku ingin membuang sweater itu, aku tak butuh itu. Di tubuhku sudah tak ada aku, jadi untuk apa. Tapi ku urungkan niatku. Aku kembali pada rencanaku untuk membawa dia dan aku keluar dari sini.

“Hei! Kita bisa ketemu teman-temanmu dari jalan ini.”

Percuma. Sangat percuma. Suaraku bagaikan angin dingin yang menusuk tubuhnya. Pasti ia tak akan mendengarkan aku. Aku kembali memutar otak mencari cara agar ia bisa mendengarkan suaraku atau menangkap maksudku.

“Tak mungkinkan aku menampakkan diriku di hadapannya? Ntar dia malah kabur lagi. Aku juga nggak tahu sih caranya nampakin diri.”

Bagaikan lampu menyala menyampir di atas otakku, ideku keluar. Ku ambil ranting pohon yang ada di sekitarku dan menuliskan kata-kata seperti yang pernah dilakukan gadis kecil yang ku temui tadi. Aku goreskan pada tanah yang tak terlalu basah karena hujan.

Kau bisa berjalan di atas aspal menuju arah barat. Di sana akan ada teman-temanmu.

Sudah ku bilangkan, memang aku tak menampakkan diriku. Tapi, siapa yang tak takut melihat rating pohon bergerak sendiri dan menuliskan sebuah kalimat begitu. Ia terlonjak kaget saat melihat kejadian itu. Ia hampir saja kabur kalau ia tak membaca kalimat itu. Sesudah ia membacanya, ia kembali mengendong tubuhku di atas punggungnya. Entahlah, ia pergi karena percaya dengan yang ku tulis atau ingin pergi dari situ secepatnya karena ketakutan.

Ia berjalan dengan cepat, derai hujan kian menepis dan hanya menyisakan sisa-sisa air di ranting pohon. Suara derap langkahnya makin lama makin cepat. Ia berlari tanpa ragu, dan aku berada di atasnya mengikuti langkahnya. Aku sedikit kagum dengannya, ia tak lelah sedikitpun. Walaupun langit gelap menggodanya, ia tetap patuh pada tujuannya.

Samar-samar, bisingnya suara terdengar masuk ke dalam telingaku. Bukan saja aku, laki-laki itu juga mendengar. Terbukti ia meneriakkan sebuah nama dengan kerasnya.

“Pak Edi! Pak Edi!”

Sekarang, terdengar kembali banyaknya derap langkah menuju arah kami. Di sana ada seorang laki-laki tegap tinggi dengan sorotan mata khawatir membalas teriakan laki-laki tadi.

“Bertahanlah, Arif! Teman-temanmu akan menjemputmu!”

Sebuah tandu diletakkan di hadapan laki-laki yang bernama Arif itu. Arif menurunkan tubuhku dan membaringkannya pada tandu itu. Ada empat orang laki-laki lagi membawa tandu dan siap memopong beban Arif. Aku juga ikut duduk di pojok tandu itu.

“Pak! Kiran pak.”

Ia menangis mengingat gadis itu. Iya, itu aku. Tenyata namaku Kiran. Aku tersenyum kecut. Umurku masih remaja, tapi telah beda alam dengan mereka. Tetapi, mengapa aku masih di sini?

“Tenang, Rif. Adik kamu pasti baik-baik saja. Astra! Tolong bawa masuk Kiran dalam tenda. Malam ini juga kita akan kembali ke kota...” aku melotot mata tak percaya. Sedari tadi orang yang menggendongku dan yang sempat aku kagumi adalah kakakku sendiri. Kenapa aku sampai lupa seperti ini?

“.... Arif? Sebenarnya ada apa ini? Kenapa kalian sampai hilang dan Kiran sampai seperti itu?” Tanya Pak Edi penasaran. Ia juga menyelimuti Arif dengan selimut tebal miliknya.

“Maafkan saya, Pak. Tadi sore saat Astra menyuruh kami mencari kayu, kami tersesat. Bukannya keluar, saya dan Kiran makin masuk lebih dalam ke dalam hutan. Tanpa kami sadari, seekor serigala mengikuti kami dan kami berlari sampai...” sebulir air mata jatuh dari pelupuk mata Arif.

“.... sampai kami menemukan aspal dan aku tak melihat baju Kiran ditarik oleh serigala itu dan aku juga menarik Kiran dan melempar serigala itu dengan batu. Dan saat itu juga, serigala itu pergi berhasil membawa sepatu Kiran dan kami jatuh di dalam jurang yang tak terlalu dalam, tapi, kapalanya terbentur batu yang ada di sana.

” Aku menutup mulut tak percaya. Ia menunduk dalam menahan tangisnya. Ia masih ingin berkata tapi enggan untuk mengeluarkannya.

“Kami pingsan dan saat aku bangun, Kiran sudah tak bernya....”

“Pak Edi! Ki-ran. Kiran masih bernafas.” Seorang perempuan cantik dengan rambut sebahu berlari menuju arah kami dengan tergesa-gesa dan membawa berita itu.

Dan sudah sekian kalinya, aku kembali dibuat terkejut dengan semua ini. Bukan saja aku, semua yang mendengar itu terkejut. Bahkan, Arif, saudaraku lebih terkejut. Aku benar-benar tak percaya.

“Sepertinya, ia koma Pak!”

“Siapkan mobil sekarang juga. Kita akan bawa Kiran ke rumah sakit terdekat. Arif, percayalah. Tak ada yang tidak mungkin bila Tuhan berkhendak. Sekarang, berdoalah.”

Arif terlihat sangat bersyukur mendengar berita itu. Ia berkali-kali melantunkan doa dari bibirnya. Aku masih berdiri menatap semuanya yang sedang sibuk dengan rasa tak percaya. Ku tatap tubuhku yang masih terbaring di atas tandu dibawa ke dalam mobil. Tubuhku membeku, bibirku kelu. Aku masih hidup?!



***


Cerita Pendek oleh Oh Nurfaa






Komentar

Postingan Populer