TAK SAMA NAMUN SETARA - Cerpen 2
TAK SAMA NAMUN SETARA
Impian itu milik semua orang tanpa memandang siapa kamu atau darimana asalmu. Ia hanya butuh keyakinan seberapa besar usahamu.
Kini berat harus mengangkat salah satunya bergantian
untuk melangkah. Pemandangan pun sudah kabur enggan untuk dinikmati. Menelusuri
angin berlalu lalang tanpa permisi. Memikul beban yang sama sekali tak bisa
disentuh walau ingin. Menjalani kehidupan kini terasa sukar sekali.
Besi kokoh bercat putih kini sudah menampakkan diri
dihadapanku. Universitas 21 Negeri Timur tercetak jelas di atas gerbang seperti
sedang megejekku, aku tak mau menatapnya lama-lama. Seorang pria paruh baya
berbaju putih senyum semringah menyapa orang-orang bergantian di samping
gerbang. Termasuk aku yang akan melewati besi putih ini.
"Waduh, pagi Neng Renjana.
Pagi-pagi mukanya udah kusut, kenapa? Kelasnya udah telat ya, Neng," sapa Pak Emit selaku satpam
penjaga kampus dengan ramahnya.
"Haha, tidak kenapa-kenapa, Pak. Seperti
hari-hari biasanya. Ke kelas dulu Pak," balasku pula dengan keramahan.
Lorong-lorong luas seketika sempit pagi ini. Mungkin
karena antusias yang tinggi dari mahasiswa-mahasiswa yang lain. Syukur kelasku
hari ini dekat dari gerbang sehingga tidak perlu membuang energi terlalu banyak
untuk mencari kelas sampai ujung lorong. Meja paling belakang dekat dengan
jendela menjadi bangku paling favorit dan akulah pemiliknya. Setelah sampai,
hal pertama yang aku lakuin adalah menidurkan kepalaku di atas meja dengan
lenganku sebagai bantalnya.
"Renjana Arunika!" Tubuhku tersentak
mendengar teriakan dari pria paruh baya berusia 55 tahun menggema di gendang
telingaku. Semoga gendang telingaku masih normal seperti biasanya. Aku
mengangkat kepala serta merapikan rambut pendekku yang sudah tak rapi seperti
awal tadi. Terlihat tubuh berisi Pak Abraham berdiri tegak tepat di hadapanku.
Ah, sudah berapa lama aku tertidur.
"Padahal baru beberapa minggu belajar di Kampus
bagi mahasiswa baru. Kenapa sudah teridur di kelas. Teman-temanmu yang lain
saja masih bersemangat. Tadi malam kamu begadang?" lagi-lagi Pak Abraham
bersuara.
Aku hanya merunduk memperhatikan sepatuku yang
talinya ternyata terlepas sebelah. Aku tak menggubris karena omelan dari Pak
Abraham dan dosen lainnya sudah biasa, bahkan menjadi cicipan sehari-hari
apabila ketahuan tertidur. Aku mencuri pandang ke arah samping, menemukan Naya
yang sudah memelas minta maaf. Gadis imut berpipi chubby itu biasanya bertugas membangunkanku. Mungkin ia lupa, aku
mengangguk kecil memberi tanda bahwa aku tidak apa-apa.
"Renjana! Tadi Bapak dapat informasi bahwa kamu
menjadi salah satu peserta lolos final Olimpiade Kebahasaan tingkat mahasiswa
di Indonesia dan akan di karantina selama dua minggu bersama mahasiswa lainnya.”
Mataku yang lebar melotot seperti mau keluar dari
tempatnya. Sebentar. Lolos?! Aku tahu prihal Olimpiade Kebahasaan itu karena
memang pekan lalu aku mengikuti tes seleksi Olimpiade dengan alasan malas masuk
kelas karena full mata kuliah.
Sehingga aku meminta izin untuk mengikuti seleksi tersebut. Tapi, untuk lolos
ke tahap selanjutnya itu terdengar mustahil.
Gemuruh tepuk tangan berasal dari teman-teman kelas
tiba-tiba saja memeriahkan kelas ini. Padahal aku sama sekali tidak senang,
bersyukur ataupun bahagia. Raut wajah bingung malah tercetak jelas di sana.
"Pak? Ini beneran? Sepertinya ada
kesalahan," tanyaku penuh harap bahwa memang bukan akulah yang di maksud
atau mungkin prank karena aku berulang
tahun. Tapi itu tidak mungkin karena ulang tahunku sudah lewat.
Pak Abraham menggeleng. "Tidak, di surat ini
jelas-jelas menyebut namamu dari Universitas 21 Negeri Timur. Ini,"
ungkapnya sambil menyodorkan kertas berisikan informasi tersebut.
Kakiku bergerak dengan sendirinya. Tatapanku terpaku
hanya pada surat itu, aku penasaran. Apa benar-benar namaku? Mungkin saja ada
orang yang mirip dengan namaku.
Kepada yang terhormat, Renjana Arunika. Salah satu
peserta Olimpiade Kebahasaan dari Universitas 21 Negeri Timur. Selamat anda
lolos ke tahap selanjutnya. Benar, Pak Abraham benar. Aku
lolos. Apa ini akan menjadi petaka besar buatku?
Dan benar saja, hal ini benar-benar membuat petaka
besar buatku. Aku memang tidak ditakdirkan untuk ini. Kemarahan Papa jadi
puncak masalah ini.
"Renjana! Papa kan sudah bilang, gak usah
terlalu berharap banyak pada kuliah! Masih mau ikutan Olimpiade pula. Belajar
di lembaga pendidikan itu hanya formalitas, toh
saat kamu besar nanti kamu akan balik lagi ke dapur! Cukup cari suami kaya dan
kehidupan kamu akan terjamin."
"Pa! Kenapa Papa cuma begini sama Renjana.
Kenapa Abang Rijal Papa suruh lanjut Pascasarjana di luar negeri!" Aku
menahan dengan sangat agar suaraku yang keluar tidak terlalu besar dan menahan
isak tangis yang sebenarnya sudah terbendung di mata.
"Kamu dan Abang kamu beda!"
"Beda apanya Pa! Renjana sama Abang sama-sama
anak Papa dan Mama kan." Setetes pertahanan diriku hancur. Sebulir air
mata terjun bebas begitu saja tanpa aba-aba.
"Abang kamu laki-laki! Kamu perempuan! Papa
pusing kalau sudah bahas ini sama kamu, Renjana."
“Dengarkan saja Papamu, Nak. Papa baru saja pulang
kerja,” kata Mama yang membela. Bahkan Mama pun membela keputusan Papa.
"Tapi, Pa...."
Papa memotong pembicaraanku dengan setengah teriak
dan bangkit dari kursinya menuju kamar tidurnya. "Jangan keras kepala
Renjana! Kalau Papa bilang begini berarti gini. Papa yang lebih tahu apapun daripada
kamu!"
Itu kata Papa. Ucapan yang menamparku berkali-kali lebih
keras dari telapak tangan. Lebih perih. Satu-satunya ucapan yang buat aku malas
ke sekolah. Malas buat belajar dan malas buat berharap. Cita-citaku pun ikut
sirna ditelan angan-angan. Bermimpi pun membuat aku ketakutan.
Apa segitunya karena aku perempuan? Kenapa aku harus
jadi perempuan kalau mimpi saja dibunuh karena gender. Apa hanya untuk
laki-laki saja yang boleh bermimpi? Bercita-cita? Bersekolah? Bahkan
kehidupanku saja seperti menjalankan kehidupan orang lain.
Sejak hari itu, aku belum memutuskan keinginanku untuk
mengikuti para dosen dan mewakilkan Universitas atau hidup buruk seperti biasa
sesuai dengan perkataan Papa dan Mama. Sebenarnya ini bukan keputusan yang
sangat sulit, hanya saja kebimbanganku sudah berujung pada kepasrahan.
"Ren, aku tahu kamu. Aku tahu gimana Papa kamu
mengekang mimpi-mimpi yang sudah terlanjur kamu rajut dari kecil. Masa mimpi
kamu yang sudah sepuluh tahun hancur hanya karena omongan Papa kamu," ucap
Naya menenangkanku saat tahu kejadian itu.
Naya seolah-olah menjadi saksi atas kehidupanku. Aku
yang tidak bersemangat bersekolah saat mulai naik ke jenjang mahasiswa. Padahal
dulunya aku selalu bersemangat untuk bersekolah.
"Tapi Papaku beda. Omongannya harus dituruti.
Aku harus turuti semuanya. Tapi saat mendengar aku bermimpi saja langsung menyuruhku
untuk berhenti kuliah."
Gadis itu menatapku sendu, ia menautkan jari
jemarinya yang kecil mungil di jari-jariku. Seakan menyodorkan semangatnya
dalam diriku. "Mungkin Papa kamu butuh bukti."
Hanya itu yang dikatakan gadis itu sambil tersenyum.
Menularkan senyumannya kepada sudut bibirku. Apa Papaku benar-benar butuh
bukti? Kalau begitu, mungkin dengan mengikuti Olimpiade ini aku bisa
membuktikan pada Papa bahwa aku sebagai perempuan juga bisa seperti mereka yang
punya mimpi. Membuktikan bahwa tidak ada diskriminasi antar gender. Semua bisa
berkarir. Semua bisa bermimpi. Dan semua bisa bersekolah dengan baik.
Kita memang tidak sama, karena kita diciptakan oleh
Tuhan berbeda-beda. Namun kita setara, dalam artian semua hal yang dilakukan
oleh laki-laki juga mampu dilakukannya oleh wanita.
Saat diambang tenggak waktu pengumpulan habis,
keputusanku sudah bulat. Aku mengikuti Olimpiade tersebut. Tetapi, bukan hanya
Papaku saja ternyata yang berpikir sempit. Garla, teman grup sekaligus rival
dalam Olimpiade nanti pun ternyata sebelas duabelas dengan Papa.
“Argh, kenapa harus ada perempuan sih dalam kelompok belajar kita!” ucap Garla, mahasiswa senior satu tahun denganku yang tidak suka dengan kedatanganku. Berkacamata dengan raut wajah sombong. Salah satu mahasiswa Universitas emas yang ada di Indonesia. Universitas Bangsa.
Seseorang dengan rambut panjang dengan akrab malah merangkulku dengan tiba-tiba. “Jangan begitu lah, Gar. Malah enak kan kalau di kelompok kita ada perempuan. Kalau satu kelompok laki-laki semua kan gak enak juga,” katanya seolah-olah menyapa teman lama yang sudah lama terpisah. Namanya Rion dan aku baru sadar bahwa kelompok belajar bimbingan ini semuanya laki-laki kecuali aku.
Dia menatapku sebentar lalu mengalihkan pandangan lain tanpa minat. “Kita gak butuh perempuan. Dia pasti lambat, lama, gak bisa apa-apa dan itu malah buat kita nggak berproses. Menghambat tau gak.”
“Aku juga bisa seperti kalian. Para perempuan
juga punya hak seperti kalian. Punya hak
untuk bermimpi dan bercita-cita. Kerjanya juga lebih cepat dan rapi.” Entah
darimana keberanian ini, aku asal ceplos karena tak suka mendengar
perkataannya.
Dan di luar
dugaanku, ia malah tersenyum tajam meremehkan. “Kalau begitu, buktikan.
Kalahkan kita.” Itu perkataan menyebalkannya sebelum ia keluar dari ruangan
belajar.
"Renjana, kok kamu bisa sih satu grup belajar
gitu sama anak laki-laki semua. Dari semuanya kamu suka yang mana?" canda
Rini, teman kamarku yang akan mengikuti Olimpiade Fisika.
"Renjana mah pasti suka sama Garla lah. Cowok
yang paling pintar sekaligus yang paling cool,"
jawab Arin dengan ke-pede-an yang sudah tingkat akut. Entah kenapa mereka bisa
iri dengan keadaanku dengan para cowok tengil tak beradab itu.
Aku menghela napas pasrah. “Tidak ada yang aku suka,
Rin. Menyebalkan semua. Dan dari semuanya yang nama Garla lah yang aku benci.”
"Renjana! Kenapa begitu?" tanya Arin.
"Tidak. Hanya saja ia mirip dengan Papaku.
Sepertinya ia sangat membenciku, sama seperti Papa."
Arin memelukku, Rini mengikuti setelahnya.
"Ceritakan saja masalahmu. Jangan dipendam."
Sedikit demi sedikit, cerita singkat namun terasa
panjang terjabar rapi keluar dari pita suaraku. Bahkan cerita tentang Garla
yang meremehkan dan harus menang melawannya juga aku ceritakan. Bukan hanya
cerita, air mata pun ikut merembes keluar. Ah, aku memang cengeng. Terlalu lama
dipendam akan ada saatnya meledak, bukan.
"Huaaaa, Renjanaaa. Aku tidak tahu kau punya
masalah seserius itu. Sebenarnya aku punya masalah yang sama tetapi sedikit
berbeda. Orangtuaku menyuruhku untuk belajar hukum tetapi aku suka IPA. Jadi
bisa dibilang bahwa aku belajar hal yang tidak aku sukai," rengek Arin
ikut hanyut bersama dan membagi ceritanya yang juga tidak bisa ia sampaikan
kepada orangtuanya.
Rini tak berkata apa-apa. Ia hanya tersenyum dan
memeluk kami berdua. "Kalau begitu kalian harus jujur pada diri kalian
sendiri. Sayangi diri sendiri dan sayangi juga mereka. Bagaimana pun juga
kalian harus mengerti pendapat mereka juga."
"Bagaimana caranya?" tanyaku dengan nada
mengelak harus mengerti pendapat orang yang tak pernah mengerti pendapatku.
"Beri mereka bukti. Tanyakan apa alasan mereka.
Mungkin Papa kamu khawatir. Dengan begitu kita akan tahu apa yang membuat
mereka bersikap demikian. Kita tahu sebenarnya itu salah. Mengekang seakan
mendiskriminasi pilihan kita. Pasti ada alasan dari semua itu. Tapi kalau api
disiram dengan api tak akan padam. Harus ada yang mengerti lebih dulu.
Oke!" Seakan sedang mencermahi, panjang kata-kata bijak yang dikeluarkan
Rini. Aku tidak tahu seberapa berat masalah yang dihadapi Rini sehingga dapat
mengatakan hal sebijak itu.
"Aaaa, Rini. Kau memang Ibu kami di sini. Dan
jangan lupa juga, kamu harus bersungguh-sungguh Renjana biar si Garla kapok
remehin kamu."
Kami tersenyum. Hatiku sedikit lega. Mengetahui
fakta bahwa kemungkinan Papa mengkhawatirkan ku sehingga memikirkan hal seperti
itu membuatku lebih baik. Walau saja tetap salah, membandingkan sesuatu hal
karena masalah gender.
Malam ini kami habiskan bersama dengan senang.
Bintang malam ini sepertinya juga berkata seperti itu. Tetapi hari-hari tidak
lama berganti, kini kami berada di ruangan masing-masing untuk melangsungkan
lomba final Olimpiade. Dan setelah itu kami berpisah meninggalkan kesan yang
sangat baik walaupun tidak baik dengan Garla. Saat aku pulang, keadaan rumah
sangat hening. Tak ada tanda-tanda kehidupan.
Kehidupanku kembali seperti biasanya. Hanya yang
sedikit berbeda adalah perasaan dan semangatku.
"Renjana! Bangun! Pak Abraham sudah mau masuk
tuh,"
Aku menoleh sambil tersenyum pada Naya. "Aku
gak lagi tidur tuh."
"Terus ngapain tadi kepala di atas meja kayak
orang tidur."
"Kepala aku berat jadi harus di istirahat
kan."
"Hahaha, ada-ada aja kamu Ren."
Tak lama, Pak Abraham memasuki ruangan dan kami
semua menyambut kedatangan Pak Abraham. "Iya selamat pagi juga anak-anakku
semuanya. Sebelum masuk materi, seperti biasa akan Bapak absen dulu yah."
Hari-hari di kampus berjalan seperti biasanya.
Mungkin yang tidak biasa adalah aku yang tidak tertidur di kelas. Tetapi
bukannya hal itu sesuatu yang baik, setidaknya aku telah berkembang.
"Renjana Arunika!"
"Hadir Pak!"
Beliau tersenyum, "Bagus. Pertahankan jangan
sampai sudah sampai kelas tertidur lagi."
"Siap Pak," jawabku sambil cengar cengir
mendengar nasihatnya.
"Oh iya, besok adalah pengumuman hasil lomba
Olimpiade Kebahasaan. Kamu akan diminta datang ke Universitas Bangsa bersama
orangtua. Bapak sebagai wali kelasmu juga akan ikut. Jangan sampai tertidur di
rumah hingga lupa jam ya."
Ah iya, besok adalah pengumumannya. Walaupun aku
tidak terlalu berharap banyak. "Oke Pak, hehe."
"Besok jam 8 Bapak tunggu di sana ya." Aku
mengangguk tanda setuju.
"Ren, orangtua kamu bakal datang gak?"
Kepalaku menoleh, tanpa berpikir banyak aku menjawab
pertanyaan Naya. "Tidak terlalu berharap sih."
"Tidak apa-apa, besok aku akan datang ke sana,"
ucapnya sangat percaya diri.
Dahiku menyerengit ke arah Naya, "Eh, kelas
kamu gimana? Besok makulnya full loh
dari pagi."
"Tenang. Aku akan izin dengan damai demi kamu
dan para cogan di Universitas Bangsa," katanya dengan lagak yang tidak
main-main. Benar-benar penuh percaya diri. Aku jadi tidak sabar untuk besok,
walaupun sedikit dari relung hatiku menginginkan bahwa Papa akan datang. Itu
tidak mungkin sih. Ah, sudahlah. Tunggu saja besok.
Waktu berdering tiga kali bertanda waktu belajar
telah usai. Semua para murid bersiap-siap untuk menginjakkan kakinya ke luar
kelas. Ada yang berlarian, ada yang jalan santai seperti ku. Rumahku tidak
terlalu jauh dari kampus sehingga berjalan kaki memberi jejak pada tanah sudah
biasa aku lakukan.
Keesokkan harinya tiba, di mana hari yang telah aku
tunggu-tunggu. Pergi ke Universitas Bangsa. Dan aku kembali bertemu dengan
Garla serta teman-temannya. Pengumuman telah berkumandang, sudah bisa
dipastikan sih. Aku bukanlah lawan mereka. Tetapi posisiku juga sudah sangat
bagus. Juara pertama Garla Mauveren dengan score 95.03. Juara kedua Arion
Pramata dengan skor 89.56. Serta Aku, Renjana Arunika dengan juara ketiga
mencapai skor 89.35.
Diluar dugaan, Garla menghampiriku. “Selamat Renjana.
Maaf sikap aku yang keanak-anakan dulu. Bisa dibilang karena kamu, aku belajar
tentang perempuan. Kita memang tidak bisa bersikap pandang sebelah mata dan
mendiskriminasi. Terimakasih sudah berusaha di Olimpiade ini.”
Mungkin benar, orang-orang hanya perlu bukti, bukan
hanya berbicara saja. Walaupun Orantuaku belum sepenuhnya menganggap mimpiku.
Dari kejadian ini, aku aktif berbagi diforum untuk membuka mata semua orang.
Membuat petisi untuk perempuan dan membuat artikel untuk keadilan hak
perempuan. Agar orang-orang tahu bahwa laki-laki dan perempuan sama. Aku pun
berusaha untuk bersuara agar mampu mewujudkan kesejahteraan gender di
Indonesia.
Semua orang punya mimpi yang sama, entah itu laki-laki maupun perempuan, tidak ada kata perbedaan antar gender yang mengalangi kita untuk membuat perubahan.
Cerpen Oleh : Oh Nurfaa
Komentar
Posting Komentar